Danau  Toba menyimpan sejuta pesona dan keindahan. Hamparan birunya air bak  lautan lepas seolah menyihir dan melambai sebagai isyarat untuk  selalu dan selalu datang dan datang kembali ke Danau Toba.
  Tak  pernah ada pikiran singgah di Danau Toba ketika Annette Horschmann,  seorang gadis Jerman, saat merencanakan liburan panjang berkeliling  dunia setelah tamat sarjana hukum di kotanya, Koln, Jerman.
  Kala  itu, pertengahan tahun 1993, ia berencana melakukan perjalanan  wisata ke India, Thailand, Malaysia, dan Indonesia, kemudian ke  Selandia Baru dan diakhiri di Amerika Serikat.
  “Namun  ketika berada di Bali, saya seolah mendengar suara yang memanggil  untuk berkunjung ke Danau Toba. Padahal saya baru mendengar nama itu  setelah beberapa hari tinggal Bali, pada awal tur dunia saya,”  katanya mengenang.
  Suara  “panggilan” itu berdengung berkali-kali, sehingga Bu Anne,  panggilannya saat ini, berupaya mengumpulkan berbagai informasi  terkait Danau Toba. Setelah dirasa cukup menarik untuk dikunjungi,  maka ia pun memulai perjalanan.
  Ia  memilih perjalanan darat dari Bali menuju Danau Toba, Sumatera  Utara. Sempat singgah di Yogyakarta, kemudian di Jakarta dan Bukit  Tinggi.
  “Di  Bukit Tinggi ada seorang pemandu wisata yang mengatakan kepada saya  bahwa saya akan menemukan jodoh di Indonesia. Saat itu saya katakan,  tidak mungkin,” katanya pekan lalu, ketika ditemui di restoran  miliknya, Tabo, di Tuktuk, Samosir, Sumatera Utara.
  Sebab,  katanya, dari sisi tinggi badan yang mencapai 170 cm, tidak akan  cocok dengan pemuda Indonesia yang umumnya jauh lebih pendek dari  dirinya. Dan ia pun tak hirau dengan kata-kata pemandu wisata  tersebut.
  Perjalanan  dilanjutkan hingga ke Danau Toba. “Dan wah … alamnya begitu  indah, danau biru yang sangat luas, begitu mempesona … terasa ada  ketenangan jiwa ketika memandangi danau dan menghirup udara segar  pantai,” katanya menggambarkan kesan pertama berada di Tuktuk,  Samosir, sebuah kawasan wisata di Pulau Samosir, berseberangan  dengan Parapat.
  Ketika  itu, katanya, ia sudah memiliki perasaan akan lama tinggal di daerah  itu, karena merasa betah dengan kondisi alamnya. Namun, kembali ia  tak menghiraukannya.
  Setelah  beberapa minggu tinggal di Tuktuk, visa kunjungan wisata habis, maka  Annette keluar dari Indonesia, dan terbang ke Penang, Malaysia.
  “Selama  seminggu di Penang saya tidak sehat. Badan terasa sakit, tak ada  gairah untuk bergerak maupun jalan-jalan, maunya tidur,” katanya  dengan bahasa Indonesia yang fasih dan lancar.
  Setelah  mengurus visa, lalu ia memutuskan kembali ke Danau Toba, dan  ternyata penyakitnya sembuh, hidupnya bergairah kembali. “Rupanya  ada kerinduan ke Danau Toba, dan itu kemudian terobati,” katanya,  sambil tersenyum.
  Sebelumnya  ia sudah berkenalan dengan seorang pemandu wisata di Tuktuk,  Antonius Silalahi. Pemuda ini lalu mengajaknya bekerjasama untuk  menjalankan bisnis di bidang pariwisata.
  “Setelah  saya pikir-pikir, kenapa tidak dicoba? Lalu saya terima ajakannya,  karena saat itu saya melihat wisatawan mancanegara memadati setiap  sudut Tuktuk. Saya pikir ini peluang,” katanya.
  Pada  periode itu, terjadi lonjakan kunjungan wisatawan mancanegara ke  Sumatera Utara dari sekitar 200.000 orang pada 1993 menjadi 265.000  orang pada 1994.
  Puncaknya  pada tahun 1995 sebesar 300.000 orang, kemudian turun drastis  pascakrisis ekonomi di Asia tahun 1997 yang diikuti jatuhnya  Soeharto pada tahun 1998, menjadi sekitar 90.000 orang pada 1999.
  Pada  2010, kunjungan wisatawan asing belum pulih seperti era 90-an. Lalu  mereka sepakat mendirikan restoran “vegetarian” pada awal 1994.  Silalahi menyediakan lahan dan Annette dengan sisa uang yang  dimiliki membangun fisik dan peralatan yang diperlukan.
  Pilihan  restoran vegetarian rupanya cukup tepat. Sejak dibuka, restoran itu  banyak pelanggan, terutama dari kalangan tua, karena pada saat itu  sedang “tren” dan banyak wisatawan kakek dan nenek dari Eropa  memilih berlibur ke Asia untuk melewati musim dingin.
  Annette  menjelaskan, para orang tua itu memilih berlibur ke Indonesia karena  lebih murah dibanding biaya hidup tinggal di rumahnya di Eropa  selama musim dingin, yang didukung oleh adanya sejumlah penerbangan  langsung dari Eropa ke Indonesia, termasuk ke Medan.
  Usaha  restoran berkembang pesat, lalu mereka kemudian memperluas usaha  dengan menyediakan roti. Mereka menjalankan bisnis ini secara  profesional, walaupun di antara keduanya juga telah terjalin  hubungan cinta.
  Bagi  orang Batak, hubungan cinta tidak bisa dilakukan secara terselubung,  maka mereka mengesahkan hubungan mereka dengan pernikahan menurut  adat Batak pada pertengahan tahun 1994.
  Untuk  memenuhi adat, sebelumnya Annette diangkat menjadi orang Batak dan  diberi marga Siallagan, dan namanya menjadi Annette boru Siallagan.
  Walaupun  kurang setuju, pihak kerabat dan kedua orang tua Annette bisa  menerima keputusan putrinya, dan mereka datang dari Jerman  menghadiri pesta pernikahan Annette dan Antonius Silalahi.
  Sementara  itu dari pihak pengantin pria, keluarga Silalahi, sangat bangga  karena memiliki menantu orang asing.
  “Setelah  beberapa bulan menikah, saya baru teringat dengan pemandu wisata di  Bukit Tinggi itu. Dan apa yang ia katakan sekarang menjadi  kenyataan, saya mendapat jodoh orang Batak. Haa… haa… haa..,”  katanya terbahak.
  Hingga  kini, keluarga Silalahi-Annette dikaruniai dua putra dan seorang  putri. Putra pertama Marco (15) kini sekolah SMA kelas I di Medan,  yang kedua Julia, putri berusia 13 tahun sekolah SMP kelas II di  Pangururan, dan si bungsu Hotto (11) SD kelas VI tinggal bersama  mereka di Tuktuk.
Bagi  Annette, sudah happy  hidup di Danau Toba. “Bagi saya Danau Toba merupakan true  love,  cinta sejati,” katanya.
  “Hidup  dan masa depan saya ada di sini. Keluarga saya ada di sini. Saya  hidup bahagia bersama suami dan anak-anak,” jawabnya, ketika  ditanya apakah ada keinginan untuk kembali ke Jerman suatu saat  kelak.
“Nunga  hudapot di son ngolukku,”  katanya dalam bahasa Batak yang fasih, yang berarti, ia sudah  menemukan tujuan hidupnya di Tuktuk.
Surga
 Bagi Annette, Danau Toba adalah surga. “Cuaca yang tidak panas dan tidak dingin, cocok untuk menikmati hidup, terutama bagi orang yang tua,” katanya.
 Oleh karena itu, katanya, walaupun kunjungan wisatawan asing ke Danau Toba anjlok tajam sejak tahun 1995, ada saja kelompok orang tua dari Eropa dan Amerika yang menginap di cottages miliknya. (ant/bs/hms)
Sumber : matanews.com
Dapatkan info lain mengenai biro perjalanan wisata & paket wisata murah serta info lainnya di ster1.karir.com/.







 
 
 
 
 



 
No comments:
Post a Comment